Senin, 24 Februari 2014

Contoh MC Seminar Karang Taruna



http://www.ecvet-projects.eu/images/BannerSeminars.jpg

 Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Selamat Siang dan salam sejahtera bagi kita semua
Selamat Datang Pada Seminar Regional yang berjudulSATUKAN KOMITMEN, PEMUDA HARUS BERKARYA DALAM SEMINAR PEMBERDAYAAN POTENSI PEMUDA  Minggu,10 Februari 2013 yang diselenggarakn oleh GERAKAN “TUNAS HARAPAN MUDA” DESA KERANGKULON WONOSALAM DEMAK.


Yang terhormat Kepala Desa Kerangkulon, Bpk. Kuntadi
Yang terhormat Seluruh Perangkat Desa Kerangkulon
Yang terhormat Pemateri pada Seminar Regional yakni :
1.        
2.        
Serta Saudaraku Seperjuangan yang berbahagia.

Hati ini merunduk seraya bersimpuh memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, semua lantunan kesederhanaan menjadi  perangkat keberserahan kepada-Nya. Dia yang mencurahkan kebenaran, sehingga kita hidup dalam lindungan rahmat-Nya. Alhamdulillah, saat berbahagia ini kita dipertemukan dalam kesadaran akan bergantung hanya pada Allah untuk mengikuti dan menyukseskan Seminar Kepemudaan dengan Tema PEMBERDAYAAN POTENSI PEMUDA MELALUI PEMBENTUKAN KEPENGURUSAN KARANG TARUNA.”
Tak lupa, kami atas nama panitia penyelenggara mengucapkan terima kasih dan selamat datang kepada saudaraku sekalian yang hadir di sini, yang secara langsung maupun tidak langsung ikut menyukseskan seminar hari ni. Selanjutnya atas nama panitia pula kami sampaikan terima kasih yang sebesar2nya kpda para pemateri atas kesediaanya dengan tulus ikhlas menyumbangkan pemikiran2 sebagai bahan pokok dalam pembicaraan seminar hari ini.
Rasa terimakasih juga kami sampaikan atas partisipasi, bantuan, serta dukungan yang telah diberikan, baik moril maupun materiil, sehingga seminar hari ini dapat terselenggara dengan baik dan semoga akan berjalan dengan lancar pula. Semoga amal baik kita semua dibalas setimpal oleh Tuhan YME. Amiiin.
-------------------------------jeda---------------------------------------- (5 detik)
Untuk mengawali acara pada pagi hari ini marilah kita buka bersama dengan membaca Basmalah (Bismillahirahmaanirrahiim)

-------------------------------jeda---------------------------------------- (7 detik)
Menyanyikan lagu Indonesia Raya. Yang dipandu oleh
Sahabati Nia Nur Ihsany, S.Pd

-------------------------------jeda------------------------------------ (jeda selama menyanyikan lagu)
Menapaki acara selanjutnya, yaitu Sambutan yang disampaikan oleh Bpk. Kuntadi sebagai Kepala desa Kerangkulon  sekaligus membuka acara Seminar Kepemudaan ini,
Kepada Bpk. Kepala Desa dipersilahkan……

----------------------------jeda--------------------------------------------- (15 menit/selama laporan)
Baiklah, hadirin yang berbahagia..

Kini masuklah dalam acara inti, yaitu Seminar Pendidikan Karakter dengan tema PEMBERDAYAAN POTENSI PEMUDA MELALUI PEMBENTUKAN KEPENGURUSAN KARANG TARUNA.” yang disampaikan oleh Saudara Mohammad Amri, S.Pd.I, M.Si dan  dimoderatori oleh Saudara Mohammad Amrin, S.Th.I
selanjutnya saya silahkan kepada moderator untuk memandu acara ini……..

--------------------------------jeda----------------------------------- (2 jam/ selama kegiatan)

(sesaat acara di atas selesai) Diharapkan kepada Saudara Mohammad Amri, S.Pd.I, M.Si  untuk tetap di depan, kemudian kepada Bpk. Kepala Desa
kami mohon untuk  naik ke atas panggung untuk memberikan Cinderamata kepada pembicara.

---------------------------------jeda------------------------------------ (3 menit/selama kegiatan)

Demikian acara inti sudah dilaksanakan, untuk menindak dari Rumusan Tema pada kegiatan Seminar kali ini, yaitu pembentukan kepengurusan Karangtaruna, kepada yang bertugas kami persilahkan untuk memimpin rapat pleno ini.

menutup acara ini, mari kita berdoa bersama agar kegiatan pada hari ini dapat keberkahan dari Tuhan Yang Mahakuasa. Al fatihah............................
-------------------------------jeda------------------------------------------- (selama berdoa)

Demikian, usai sudah seluruh rangkaian acara Seminar Pendidikan Karakter pada hari ini, selanjutnya para hadirin disilahkan untuk mengambil makan siang yang telah kami sediakan, selamat menikmati. terima kasih atas segala perhatian dan mohon maaf jika ada kesalahan, saya Pemandu acara mohon undur diri.

Wallahul Muwaafiq Ilaa Aqwamith Tharieq
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


Bencong itu Laki-laki Apa Perempuan?


Ada seorang santri bertanya kepada kiainya.

“Pak kiai, saya bingung, kenapa kok di jaman saat ini ada laki-laki yang berpakaian perempuan?”

“Ya sekarang ini memang sudah mendekati zaman akhir nak,” kata kiainya.

“emm.. terus sebenarnya dia itu laki-laki apa perempuan pak kiai?” tanya udin lebih lanjut.

“Kamu mau tahu bagaimana membedakan apakah dia laki-laki apap erempuan?” kiai balik nanya.

“Njeh pak kiai (iya pak kiai)” sambil menganggukkan kepala.

“Kamu ikutin aja, kalau dia sholat. Dia berada di shof laki-laki apa perempuan.”

"Bener juga," (kata udin dalam hati).


Ahmad Syaefudin
Staf Majalah Bangkit PWNU DIY

Bagaimana Rasanya Terkena Abu Vulkanik?


Di saat semua orang berlarian menghindar, satu wartawan berusaha mewawancarai seorang nenek. Di tengah membumbungnya abu vulkanik Kelud yang begitu tebal, muka si nenek dan wartawan pun tampak seperti di‘meck-up’ tidak karuan.
“Nek, nenek sama siapa? Kok sendirian?” tanya si wartawan sambil berjalan sedikit mengejar si nenek yang sedang panik dengan abu vulkanik di seluruh tubuhnya.
“Sudah tahu sendirian, kok masih nanya?” jawab si nenek sewot.
“Terus kira-kira rasanya gimana nek?” tanya si wartawan lagi tentang abu vulkanik.
Rasakno dewe … (rasain sendiri)!” jawab si nenek sambil bergegas pergi, dan si wartawan hanya mlongo. (Fathoni)
Sumber : http//www.nu.or.id

Satu Ayat Al-Qur’an yang Istimewa


Pada saat pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an menjadi satu mushaf, panitia memberlakukan aturan yang sangat ketat. Ketika ada orang datang dan menyatakan bahwa dirinya hafal satu ayat Al-Quran atau mengaku memiliki catatan satu ayat Al-Quran, pengakuan itu tidak lantas diterima. Namun ini tidak berlaku bagi satu ayat ini.
Pengumpulan Al-Qur’an terjadi pada masa masa Khalifah Abu Bakar. Umar ibn Khatab menetapkan keputusan bahwa setiap orang yang menyodorkan satu ayat yang diklaim sebagai ayat Al-Quran, harus menghadirkan dua orang saksi yang membenarkan pengakuannya. Hal ini dilakukan demi menjaga kemurnian Al-Quran dan menghindari masuknya nash-nash yang bukan bagian dari Al-Quran.
Namun, ketika Khuzaimah al-Anshari menyodorkan ayat:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Telah datang kepada kalian seorang Rasul dari jenis kalian. Terasa berat baginya apa-apa yang menyusahkan kalian. Ia sangat berharap kebaikan bagi kalian; sangat bersikap kasih dan sayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)
Umar langsung menerima ayat itu tanpa meminta Khuzaimah menghadirkan dua orang saksi. Umar hanya berkata, “Memang begitulah adanya Rasulullah Saw.” Demikian tertulis dalam Tafsir Ath-Thabari jilid 14/588.
Ayat di atas menggambarkan betapa Rasulullah sangat menyayangi umatnya. Ia merasa sangat susah jika tahu ada umatnya yang menderita. Kisah seperti ini sudah sangat jamak diketahui, bahkan menjelang akhir hayatnya, yang terucap dari lisan Rasulullah adalah kalimat “Umatku, umatku!...” Jika ayat tersebut dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian umat Islam, saya tidak bisa membayangkan, apakah saat ini Rasulullah sedang bergembira atau sedang sangat berduka.
Nabi Muhammad dilahirkan dan diutus ke muka bumi ini sebagai pembimbing umat manusia ke jalan yang lurus. Ada sederet rambu-rambu yang diberikan oleh Rasulullah kepada manusia sepanjang masa. Rambu-rambu paling tegas adalah akhlak yang dalam sebuah hadis ditegaskan bahwa Rasulullah bersabda, “Sungguh, aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (Imam Baihaqi, Sunan Al-Kubrâ, jilid 10/192).
Seorang manusia yang ditunjuk oleh Allah sebagai Rasul dengan misi menyempurakan kemuliaan akhlak tentu dia sosok manusia yang memiliki akhlak yang sangat mulia; tentu ia merupakan sosok manusia yang pantas dijadikan suri tauladan. Tidak mungkin Allah menjadikannya sebagai penyempurna kemuliaan akhlak sementara ia sendiri minus-akhlak. Dalam pribahasa Arab dinyatakan fâqidu asy-sya’i lâ yu’thîhi, orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin dapat memberikan sesuatu itu kepada orang lain!
H.M. Taufik Lc. Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PWNU-DKI Jakarta. (Red:Anam)
SUmber : http//www.nu.or.id

Hariri dan Semiotika Sosial Ustadz



Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan dengan video ngamuknya seorang Ustadz ketika sedang berceramah. Hariri, ya, ustadz jebolan akademi dai TPI ini terlihat di video media sosial maupun media elektronik marah-marah bukan kepalang kepada petugas sound sistem.
Di dalam video yang berdurasi 3 menit 1 detik itu terlihat Hariri Nampak kesal dengan bahasa sundanya memarahi tukang sound sistem yang belakangan bernama Entis Sutisna ketika sedang berceramah di daerah Nagrak, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Konon sang ustadz kesal ketika meminta Entis untuk memperbaiki suara mikrofon yang tidak bagus sehingga mengganggu ceramahnya.
Namun, tak tahu alasannya apa, menurut kabar, Entis justru marah-marah kepada sang ustadz sehingga membuat Ustadz Hariri pun sebaliknya. Di dalam video tersebut, Entis terlihat ketakutan dimarahi sang ustadz dengan hanya menunduk dan mengangguk-angguk. Ternyata betul, menurut wawancara yang datang kepadanya, Entis takut dengan marahnya ustadz Hariri ketika itu.
Di tengah jamaah, terlihat dalam video Hariri yang berada di atas panggung memarahi Entis yang seakan tak berdaya berdiri pas di hadapan Hariri di bawah panggung sambil menceramahi seolah Raja Amphitriyon sang penguasa lalim kepada Alcides dalam legenda Yunani kuno, Hercules. Klimaksnya, ketika Entis meminta maaf sambil berjabat tangan dengan Hariri sekaligus menunduk seakan hendak mencium kakinya, lutut Hariri ditekuk dan menekan leher bagian belakang Entis sehingga memaksa salah seorang temen Hariri melerainya di atas panggung.
Setelah Entis beranjak dari ‘TKP’, gaya Hariri persis seperti ketika David Haye, petinju Inggris yang sombong memenangkan pertadingan, membusungkan dada, dan menegakkan badannya yang ketika mengenakan baju gamis terusan putih dan tutup kepala seperti Imam Bonjol.
Hujatan, makian, hinaan, terus-menerus muncul di video yang diunggah di Youtube tersebut. Intinya yaitu mengarah kepada Hariri yang seharusnya bisa lebih bersikap arif bijaksana sebagai seorang pendakwah.
Kejadian ini pun mengundang reaksi institusi maupun pemuka agama, tak terkecuali KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Di akun Facebook pribadinya Simbah Kakung yang ditandai oleh Ahmad Saifudin Zuhri, Gus Mus mengatakan bahwa, ustadz dalam bahasa aslinya, Arab, berarti guru atau profesor. ‘Kesaktian’ pers-lah yang membuat siapa saja di negeri ini disebut ustadz. Termasuk badut, preman, atau anak gila.
Ya, Ustadz. Panggilan untuk seorang profesor di Universitas al-Azhar Mesir ini lekat kepada seseorang yang berprofesi sebagai penceramah atau guru ngaji di Indonesia. Sebagai seorang penceramah atau dai, seseorang kerap menyimbolkan dirinya dengan Jubah, gamis, peci ala Imam Bonjol, dan tak ketinggalan Jenggot, selain itu banyak hapal ayat-yat al-Quran serta Hadis. Untuk menopang sombol-simbol tersebut, bahkan seseorang memenuhinya dengan perilaku sopan, murah senyum, gaya tenang, halus, lembut dalam perkataan, dan lain sebagainya dalam kehidupan sosial mereka.
Imbalan yang didapat dengan menyematkan dan menggerakkan simbol-simbol tersebut yaitu dihormati oleh orang lain sebagai seorang yang pandai dalam bidang agama. Ya, paradigma inilah yang tak jarang digunakan oleh seseorang agar cepat dapat dihormati bahkan ditakuti oleh orang lain dalam kehidupan sosial, yaitu dengan menampakkan simbol-simbol agama pada badannya, entah jenggot, gamis, jubah, peci ala Imam Bonjol, dan lain-lain.
Tentang Semiotika Sosial Ustadz
Tanda-tanda atau simbol-simbol ini dalam sebuah disiplin ilmu disebut semiotika atau ilmu tanda. Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Ahli filasafat dari Amerika yang juga berjasa dalam memunculkan semiotika modern, Charles Sanders Peirce, berpendapat bahwa kita hanya bisa berpikir dengan sarana tanda. Dengan demikian, sudah pasti bahwa menurut Peirce tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.
Pertanyaannya, apakah dengan tanda-tanda atau simbol-simbol yang melekat pada diri seseorang katakanlah simbol-simbol agama tadi membuktikan bahwa seseorang tersebut adalah ahli agama? Dengan kata lain, orang yang halus perkataannya, baik perilakunya, sabar dan tenang dalam bersikap dengan asumsi bahwa orang tersebut memang mengerti agama sebagai instrumen Tuhan dalam menunutun umatnya di jalan kebaikan.
Jawabannya belum tentu! Namun, tidak terpungkiri bahwa stigma yang disematkan oleh masyarakat yaitu karena tanda atau simbol-simbol yang tersemat kepada seseorang. Gayung bersambut, seseorang yang diberi gelar Ustadz pun menyimbolkan dirinya dengan memakai tanda-tanda yang memungkinkan bahwa dirinya memang benar-benar Ustadz. Artinya, dengan berpikir seperti itu, seorang Ustadz telah terjebak secara simbolistik tanpa berpikir esensi secara epistemologis apa makna Ustadz, bagaimana seharusnya mengendalikan perilaku yang mengarah pada keburukan, dan bagaimana pula penilaian masyarakat terhadap gelarnya itu dan tentu penilaian pada agamanya sebagai institusi jika semua itu terjadi.  
Hariri mementaskan sikap layakanya bukan seorang ustadz. Ironisnya, perilaku mengumbar kemarahan ia lakukan ketika sedang berceramah di hadapan ratusan jamaah. Ketika itu juga, dia menyimbolkan dirinya dengan memakai gamis terusan berwarna putih dengan peci khas ala Imam Bonjol yang secara semiotik cukup untuk merepresentasikan bahwa dirinya adalah ustadz dalam pandangan dan penilaian masyarakat. Nampaknya dia tidak cukup untuk berpikir bahwa dengan tidak sedang berceramah pun, atau ketika itu tidak sedang mengenakan simbol-simbol Ustadz pun, tetapi berbuat semena-mena, masyarakat dipastikan tidak bisa menerima perilaku tersebut. Bahkan cacian, makian atau hinaan tidak saja tertuju kepada diri pribadinya, namun juga pada institusinya yaitu ustadz, bahkan institusi yang lebih tinggi lagi yaitu Islam.
Sebetulnya Hariri bukan yang pertama, banyak orang di negeri ini yang di katakan ustadz, rupanya Islami namun perilakunya jauh dari esensi seorang ustadz dan nilai-nilai Islam. Tak perlu dirinci di sini, beberapa orang yang dipanggil dengan sebutan ustadz terbukti melakukan tindakan korupsi yang merugikan masyarakat dan negara miliaran rupiah. Ada ustadz yang terdakwa sebagai makelar kasus yang melibatkan banyak orang bahkan dari kalangan artis.
Memang konteksnya berbeda, namun terlepas dari kepentingan apapun, seseorang yang menyimbolkan diri dengan tanda-tanda akan terjebak dengan tanda tersebut secara semiotik dalam kehidupan sosial ketika dirinya tidak mampu berbuat sesuai yang diharapkan tanda tersebut. Biasanya orang yang menyimbolkan diri akan bangga dengan simbolnya sehingga merasa perlu dihormati bahkan dicium tangannya sebagai seorang ustadz. Efek dominonya bukan hanya pada dirinya, namun juga pada institusi yang disandangnya. Dengan kata lain, masyarakat juga akan skeptis dengan orang-orang yang serupa yaitu Ustadz.  
Berbeda dengan orang yang mengutamakan substansi. Orang seperti ini biasanya mempunyai paradigma berpikir iso rumangsa, sanes rumangsa iso (bisa merasa, bukan merasa bisa) sehingga tidak terlalu menyimbolkan diri, tidak terlalu perlu merasa dihormati bahkan perlu didengar nasihat-nasihatnya karena seperti Hariri atau ustad-ustad di atas, dapat membuatnya kehilangan akal sehat dengan tidak memahami ustadz secara substansi namun mengutamakan simbol secara semiotik, bukan?

Fathoni, Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STAINU Jakarta
sumber : http//www.nu.or.id

KH Muslih Abdurrahman Mranggen


Bagi kaum thariqah di Indonesia, khususnya pengikut Thariqah Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), nama KH Muslih Abdurrahman Mranggen tentu sudah sangat masyhur. Keberadaannya sebagai salah seorang mursyid TQN, yang sekaligus aktif dalam mengembangkan dan membesarkan Jam'iyah Ahlit Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyah (Jatman) hingga akhir hayat pada tahun 1981, membuat muridnya menyebut Kiai Muslih sebagai Abul Masyayekh dan Syeikhul Mursyidin.
Tak hanya itu, Kiai Muslih berjasa pula dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang, baik sebagai anggota laskar Hizbullah yang berlatih kemiliteran bersama Syeikh KH Abdulloh Abbas Buntet Cirebon dalam satu regu di Bekasi Jawa Barat, maupun ketika bergabung dengan komando pasukan Sabilillah yang beranggotakan para kiai/ulama di wilayah Demak selatan atau front Semarang wilayah Tenggara.
Kiai Muslih dilahirkan di Suburan Mranggen Demak, pada tahun 1908, dari pasangan Syekh KH Muslih bin Syeikh KH Abdurrohman dan Hj. Shofiyyah. Dari jalur ayah, silsilah kiai Muslih sampai kepada Syeikh Al-Jali atau Syeikh Al-Khowaji yang berasal dari Baghdad keturunan Sayyidina Abbas r.a, paman Nabi Muhammad saw. Sedangkan ibunya masih keturunan dari Sunan Ampel.
Sejak kecil Muslih sudah gemar ngaji. Tercatat, ia pernah berguru mulai dari ayahnya, Syekh KHAbdurrahman bin Qosidil Haq, hingga kepada para Masyayikh yang ada di Haromain, diantaranya Syeikh Yasin Al-Fadani Al- Makky. Kiai Muslih juga pernah menimba ilmu kepada Syeikh KH Ibrohim Yahya (Mranggen); KH Zuber, Syeikh Imam, Syeikh Imam, dan KH Maksum (Rembang); dan Syeikh Abdul Latif Al- Bantani. Selain itu, Kiai Muslih juga pernah belajar di Pesantren Termas Pacitan.
Dari hasil pendidikannya tersebut Kiai Muslih mendapatkan banyak ilmu seperti ilmu kalam Bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadist, Ilmu Tasawwuf dan berbagai ilmu lainnya.
Membesarkan Pesantren Futuhiyyah
Pondok Pesantren Futuhiyyah yang diasuh ayahnya mengalami rehabilitasi pada tahun 1927 M. Saat itu sudah ada puluhan santri yang ikut ngaji, namun aktifitas Madrasah tersebut menjadi terhenti, setelah diminta oleh NU cabang Mranggen. 
Selang beberapa waktu, Syekh KH Muslih berusaha mendirikan kembali Madrasah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di komplek Pesantren Futuhiyyah. Kali ini ia mengambil sikap, jika NU ingin mengelola Madrasah lagi supaya mendirikan sendiri. Keputusan tersebut  diambil karena, dua kali Futuhiyyah mendirikan Madrasah, yakni pada tahun 1927 dan 1929 M, dua kali pula diminta oleh NU Cabang Mranggen dengan cara Bedol Madrasah, yakni murid dan gurunya dipindah tempat, yang kemudian dikelola oleh NU Cabang Mranggen. Hal tersebut menjadikan aktivitas di Futuhiyyah menjadi sedikit terkendala.
Setelah madrasah baru yang didirikan oleh Kiai Muslih berjalan lancar, satu tahun kemudian beliau kembali mondok ke Termas dan pengelolaan madrasah diserahkan kepada adiknya, KH Murodi, yang baru pulang mondok dari Lasem. NU Cabang Mranggen, akhirnya juga dapat mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat bertahan hingga sekarang, di Kauman Mranggen, yang dikenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah.
Kiai Muslih saat datang di Termas, langsung diminta oleh KH Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala Madrasah di Termas saat itu, untuk mengajar kelas Alfiyyah. Semula Kiai Muslih menolak, dengan alasan belum mampu mengajar Alfiyyah. Namun setelah dibujuk gurunya, dia pun bersedia. Di Termas pula, Kiai Muslih belajar bagaimana cara mengajar yang baik dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sistem klasikal (madrasah).
Dengan berbekal Ilmu yang lebih luas dan pengalaman selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah, pada tahun 1935 M Kiai Muslih pulang dan bermukim kembali di Suburan Mranggen. Dengan tekad untuk mengembangkan Pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Pada tahun 1936 M berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah. Madarasah tersebut terus berkembang dan bertahan sampai sekarang.
Ada hal yang menarik pada saat proses penerimaan siswa baru. Pada saat itu meskipun belum ada radio, tidak ada stensil, tidak ada pula mesin tulis apalagi fotocopy, namun info tentang madrasah di Mranggen berkembang luas. Banyak sekali calon santri, baik yang berasal dari desa-desa wilayah kecamatan Mranggen dan sekitarnya hingga Gubug-Purwodadi, berdatangan. Hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah muncul seorang tokoh kiai yang alim, siapa lagi kalau bukan Kiai Muslih Abdurrahman. (Ajie Najmuddin)
Sumber : www.nu.or.id

NU Setia Menjaga NKRI


Nusantara sebagai sebuah kesatuan geografis, kesatuan budaya, kesatuan politik dan kesatuan ekonomi terbentuk melalui proses berabad-abad, setidaknya mulai wangsa Sanjaya Mataram, Sriwijaya yang terus berkembang zaman Kahuripan, Daha, Singasari, Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram Baru hingga Republik Indonesia saat ini. Kehadiran penjajah Spanyol, Belanda, Inggris, selama ratusan tahun itu gagal memecah-belah kesatuan yang telah kokoh itu.
Ketika Indonesia merdeka kesatuan itu segera dikukuhkan kembali sebagai sebuah negara kesatuan berdasarkan ideologi Pancasila, yang merupakan warisan leluhur bangsa ini. Itulah sebabnya Pancasila diterima oleh bangsa ini dengan tangan terbuka karena memang sebelumnya telah hidup dan berkembang sebagai falsafah hidup bagi bangsa ini, sehingga walaupun berbeda budaya, berbeda suku dan berbeda agama, tetapi bisa hidup rukun dan bersatu saling tolong-menolong satu sama lain.
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa kesatuan Indonesia ini bukan sesuatu yang sekali jadi melainkan terus berkembang dalam proses, karena itulah kesatuan NKRI dan keutuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara harus dijaga dan dipertahankan. Tidak sedikit kelompok yang dengan menawarkan ideologi tertentu mencoba untuk menolak Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan, dan berusaha memecah belah sebagai serta berusaha memutus pengikatnya yaitu Pancasila sebagai ideologi negara.
Nahdlatul Ulama (NU) lahir dari budaya Islam Nusantara dan berkembang dalam budaya Nusantara dengan segala gelombang yang terjadi di atasnya, ketika Nusantara dalam penjajahan NU dengan gigih mempertahankan identitas kenusantaraannya dan berjuang penuh melawan penjajah yang ingin melenyapkan kenusantaraan menjadi kebelandaan. Pesantren berhasil menjaga tradisi Islam Nusantara dan dari situlah 88 tahun yang lalu NU Lahir. Dalam keterjajahan itu NU mengobarkan semangat revolusi dan perjuangan, karena itu ketika Nusantara merdeka menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak ragu lagi NU menjadi penjaga dan sekaligus penyangga serta perekat persatuan Indonesia, dalam menghadapi berbagai subversi, gerakan separatis dan pemberontakan yang menodai negeri ini.
Hadirnya Reformasi dengan semangat liberalisme yang tanpa batas menjadikan upaya merombak NKRI serta mengganti atau merevisi Pancasila terus berjalan, dengan menawarkan ideologi lain yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Dari situlah ketegangan nasional mulai terjadi antara kelompok pembela NKRI dan pendukung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dengan kelompok yang ingin merombaknya. Berkat kegigihan pendukung NKRI dan Pancasila ini kedua hal tersebut tidak diubah.
Dengan tidak diubahnya konsep NKRI dan Pancasila tersebut tidak dengan sendirinya NKRI tetap ada dan lestari. Secara geografis sejak reformasi hingga sekarang memang masih utuh, maraknya gerakan separatisme beberapa waktu yang lalau tidak mampu memecah kesatuan geografis negeri ini. Tetapi apabila ditinjau dari segi kesatuan politik, dengan diterapkannya otonomi yang tanpa batas, kesatuan Indonesia sebagai kesatuan politik mulai pudar. Mulai banyak pejabat daerah yang tidak setia pada pemerintah di atasnya atau bahkan pemerintah pusat.
Dilihat dari sudut pertahanan (militer), nampaknya integritas NKRI juga sudah mulai mengendor, terbukti dengan terjadinya pelanggaran wilayah oleh pasukan asing yang tidak sepenuhnya bisa diatasi oleh tentara Indonesia. Sementara, setiap upaya peningkatan sistem pertahanan selalu mendapat serangan dari kelompok tertentu dari bangsa sendiri, sehingga kedaulatan Republik ini dengan mudah diganggu dan dinodai masuknya kekuatan asing yang ingin memecah belah negeri ini.
Dari segi kesatuan ekonomi, sejak dilakukan liberalisasi perdagangan, dengan dibebaskannya investasi asing masuk ke seluruh sektor strategis, maka bisa dilihat bahwa saat ini ekonomi nasional tidak lagi di bawah kendali bangsa sendiri, melainkan telah dikuasai asing. Mulai dari sektor pertambangan, sektor perbankan, sektor pertanian, sektor industri, sektor properti, telekomunikasi, yang penguasaan asing rata-rata di atas 50%, bahkan terakhir di sektor bandara yang bisa mencapai 100 persen. Akibatnya terjadi ketimpangan ekonomi yang sangat tajam yang belum pernah terjadi di Indonesia ini selama ini.
Kemudian di sektor kebudayaan, pengaruh asing mulai menerobos hingga ke sektor privat, dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara informasi dari dunia internasional yang dikendalikan oleh kapitalisme global yang berpandangan hidup liberal, tetaplah begitu jauh mempengaruhi cara berpikir, sikap dan tindakan masyarakat negeri ini. Dengan demikian nilai-nilai agama budaya dan tradisi, termasuk nilai-nilai Pancasila akan sulit diterapkan. Karena propaganda liberal disebarkan sedemikian gencar dengan peralatan teknologi dan strategi yang sangat canggih.
Inilah yang menjadi keprihatinan NU dan yang menjadi tekad NU untuk selalu setia menjaga keutuhan NKRI di saat pihak lain banyak yang mulai meragukan pentingnya NKRI. Karena itu bersamaan dengan peringatan Hari Lahir NU yang ke-88 tahun 2014 ini, NU berikrar bahkan bertekad bahwa keutuhan NKRI dan kejayaan Pancasila harus dijaga. Keutuhan NKRI harus tetap dijaga, tidak hanya secara geografis, tetapi secara politik, ekonomi dan budaya ini Indonesia kembali menjadi negara yang berdaulat, sebagaimana yang diperjuangkan para ulama NU terdahulu bersama elemen bangsa lainnya.
Untuk menjaga keutuhan NKRI ini sarana yang paling tepat adalah Pancasila, karena Pancasila dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika, merupakan tali pengikat keragaman bangsa ini. Kemampuan Pancasila dalam merekat keutuhan bangsa ini telah terbukti selama bertahun-tahun. Maka NU tidak mau ambil risiko dengan adanya kelompok lain  yang ingin mengganti Pancasila, sebab tanpa Pancasila NKRI tidak akan bisa dipertahankan.
Sebagaimana NKRI, saat ini Pancasila secara formal memang masih ada, tetapi harap diketahui, Pancasila oleh liberalisme tidak lagi dijadikan sumber nilai, baik dalam merumuskan undang-undang, dalam menentukan kebijakan politik, termasuk dalam kebijakan ekonomi dan kebudayaan. Semuanya mengacu pada berbagai konvensi internasional yang berfalsafah liberal yang jauh dari nilai agama dan tradisi.
Bagi NU membela NKRI dan Pancasila merupakan keharusan politik, untuk menjaga kesatuan dan kedamaian negeri ini. Dan sekaligus merupakan kewajiban syar’i, karena membela negara wajib hukumnya menurut agama.  Sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU di Situbondo bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila bagi umat Islam Indonesia sama dengan menjalankan syariat Islam. Sebagai konsekwensinya NU berkewajiban menjaga dan mengamankan Pancasila.
Komitmen atau kesetiaan ini perlu terus ditegaskan sehingga ketika NU genap berusia satu abad tahun 2026 nanti, sekitar 12 tahun lagi, kita berharap NKRI tetap utuh dan Pancasila tetap jaya. Penegasan ini menunjukkan bahwa NU bukan hanya untuk pada Nahdliyin, tetapi untuk bangsa secara keseluruhan dan bahkan untuk sekalian umat manusia. Karena itu berangkat dari Harlah NU yang 88 ini, tekad dan kesetiaan tersebut kita ikrarkan, di tengah Indonesia dengan NKRI dan Pancasila sedang menghadapi tantangan.

KH Said Aqil Siroj
Ketua Umum PBNU

* Disampaikan dalam acara peringatan hari lahir atau Harlah ke-88 NU di Jakarta, 31 Januari 2014.

Sayyidina Ali dan Seorang Tua Nasrani


Hikmah 

Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya setiap pagi dan sore Allah SWT selalu memandang wajah orang yang sudah tua, kemudian Allah SWT berfirman: Wahai hamba-Ku, semakin tua usiamu, semakin keriput kulitmu, semakin lemah tulangmu, semakin dekat ajalmu, semakin dekat pula engkau bertemu dengan-Ku. Malulah karena-Ku, karena Aku pun malu melihat ketuaanmu, dan Aku pun malu menyiksamu di dalam neraka.

Dikisahkan bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali KW sedang tergesa-gesa berjalan menuju masjid untuk melakukan jamaah shubuh. Akan tetapi dalam perjalanan - di depan beliau - ada seorang kakek tua yang berjalan dengan tenang. Kemudian Sayyidina Ali memperlambat langkah kaki tidak mendahuluinya karena memuliakan dan menghormati kakek tua tersebut. Hingga hampir mendekati waktu terbit matahari barulah beliau sampai dekat pintu masjid. Dan ternyata kakek tua tersebut berjalan terus tidak masuk ke dalam masjid, yang kemudian Sayyidina Ali KW akhirnya mengetahui bahwa kakek tua tersebut adalah seorang Nasrani.

Pada saat Sayyidina Ali KW masuk ke dalam masjid beliau melihat Rasulullah SAW beserta jamaah sedang dalam keadaan ruku'. (Sebagaimana diketahui bahwa ikut serta ruku' bersama dengan imam berarti masih mendapatkan satu rakaat). Rasulullah SAW waktu itu memanjangkan waktu ruku'nya hingga kira-kira dua ruku'. Kemudian Sayyidina Ali KW ber-takbiratul ihram dan langsung ikut serta ruku'.

Setelah selesai shalat para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah tidak biasanya engkau ruku' selama ini, ada apakah gerangan? Beliau menjawab: Pada waktu aku telah selesai ruku' dan hendak bangkit dari ruku' tiba-tiba datang malaikat Jibril AS meletakkan sayapnya di atas punggungku, sehingga aku tidak bisa bangkit dari ruku'. Para sahabatpun bertanya: Mengapa terjadi demikian? Beliau menjawab: Aku sendiri pun tidak tahu.

Kemudian datanglah malaikat Jibril AS dan berkata: Wahai Muhammad, sesungguhnya Ali waktu itu sedang bergegas menuju masjid untuk jama'ah shubuh, dan di perjalanan ada seorang kakek tua Nasrani berjalan di depannya, Ali pun tidak mengetahui kakek tua itu beragama Nasrani. Ali tidak mau mendahuluinya karena dia sangat menghormati dan memuliakan kakek tua tersebut. Kemudian aku diperintah oleh Allah SWT untuk menahanmu saat ruku' sampai Ali datang dan tidak terlambat mengikuti jama'ah shubuh. Selain itu Allah SWT juga memerintah malaikat Mikail untuk menahan matahari menggunakan sayapnya hingga matahari tidak bersinar sampai jama'ah selesai.

Demikianlah hikmah kisah teladan Sayyidina Ali KW yang sangat menghormati dan memuliakan orang yang tua walaupun beragama Nasrani. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Sayyidina Ali Jual-Beli dengan Dua Malaikat



Kisah ini diriwayatkan Ja’far bin Muhammad, yang memiliki sanad dari ayahnya, lalu dari kakeknya. Suatu ketika, cerita kakek Ja’far, Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramaLlahu wajhah mengunjungi rumahnya selepas silaturahim kepada Rasulullah.

Di rumah itu Ali menjumpai istrinya, Sayyidah Fathimah, sedang duduk memintal, sementara Salman al-Farisi berada di hadapannya tengah menggelar wol.

“Wahai perempuan mulia, adakah makanan yang bisa kau berikan kepada suamimu ini?” tanya Ali kepada istrinya.

“Demi Allah, aku tidak mempunyai apapun. Hanya enam dirham ini, ongkos dari Salman karena aku telah memintal wol,” jawabnya. “Uang ini ingin aku belikan makanan untuk (anak kita) Hasan dan Husain.”

“Bawa kemari uang itu.” Fathimah segera memberikannya dan Ali pun keluar membeli makanan.

Tiba-tiba ia bertemu seorang laki-laki yang berdiri sambil berujar, “Siapa yang ingin memberikan hutang (karena) Allah yang maha menguasai dan mencukupi?” Sayyidina Ali mendekat dan langsung memberikan enam dirham di tangannya kepada lelaki tersebut.

Fatimah menangis saat mengetahui suaminya pulang dengan tangan kosong. Sayyidina Ali hanya bisa menjelaskan peristiwa secara apa adanya.

“Baiklah,” kata Fathimah, tanda bahwa ia menerima keputusan dan tindakan suaminya.

Sekali lagi, Sayyidina Ali bergegas keluar. Kali ini bukan untuk mencari makanan melainkan mengunjungi Rasulullah. Di tengah jalan seorang Badui yang sedang menuntun unta menyapanya. “Hai Ali, belilah unta ini dariku.”

”Aku sudah tak punya uang sepeser pun.”

“Ah, kau bisa bayar nanti.”

“Berapa?”

“Seratus dirham.”

Sayyidina Ali sepakat membeli unta itu meskipun dengan cara hutang. Sesaat kemudian, tanpa disangka, sepupu Nabi ini berjumpa dengan orang Badui lainnya.

“Apakah unta ini kau jual?”

“Benar,” jawab Ali.

“Berapa?”

“Tiga ratus dirham.”

Si Badui membayarnya kontan, dan unta pun sah menjadi tunggangan barunya. Ali segara pulang kepada istrinya. Wajah Fatimah kali ini tampak berseri menunggu penjelasan Sayyidina Ali atas kejadian yang baru saja dialami.

“Baiklah,” kata Fatimah selepas mendengarkan cerita suaminya.

Ali bertekad menghadap Rasulullah. Saat kaki memasuki pintu masjid, sambutan hangat langsung datang dari Rasulullah. Nabi melempar senyum dan salam, lalu bertanya, “Hai Ali, kau yang akan memberiku kabar, atau aku yang akan memberimu kabar?”

“Sebaiknya Engkau, ya Rasulullah, yang memberi kabar kepadaku.”

“Tahukah kamu, siapa orang Badui yang menjual unta kepadamu dan orang Badui yang membeli unta darimu?”

“Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu,” sahut Ali memasrahkan jawaban.

“Sangat beruntung kau, wahai Ali. Kau telah memberi pinjaman karena Allah sebesar enam dirham, dan Allah pun telah memberimu tiga ratus dirham, 50 kali lipat dari tiap dirham. Badui yang pertama adalah malaikat Jibril, sedangkan Badui yang kedua adalah malaikat Israfil (dalam riwayat lain, malaikat Mikail).”

Kisah yang bisa kita baca dari kitab al-Aqthaf ad-Daniyah ini menggambarkan betapa ketulusan Ali dalam menolong sesama telah membuahkan balasan berlipat, bahkan dengan cara dan hasil di luar dugaannya.

Keluasan hati istrinya, Fathimah, untuk menerima keterbatasan juga melengkapi kisah kebersahajaan hidup keluarga ini. Dukungan penuh dari Fathimah telah menguatkan sang suami untuk tetap bermanfaat bagi orang lain, meski untuk sementara waktu mengabaikan kepentingannya sendiri: makan. (Mahbib Khoiron)

Sumber : http://www.nu.or.id

Cinta Imam al-Ghazali untuk Lalat


Jika disebutkan nama Imam al-Ghazali maka gambaran yang muncul adalah sosok ulama abad pertengahan dengan reputasi kealiman yang tak diragukan. Ia termasuk cendekiawan muslim yang komplet.

Wawasannya tak berhenti pada soal teks-teks agama yang rumit. Tokoh bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'I ini menguasai disiplin filsafat dan menaruh prioritas pada olah rohani sebagai seorang sufi yang taat.

Para kritikus al-Ghazali bisa saja berseberangan dengan beberapa pikirannya. Namun, mereka tak dapat membantah kepribadian hujjatul islam ini yang zuhud, wara’, serta amat tekun menjalankan ibadah.

Kesungguhannya dalam beribadah tampak pula pada beberapa karyanya yang sarat anjuran melaksanakan amalan-amalan tertentu sebagai sarana penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pengabdian tulus seorang hamba. Kitab tasawuf dasar, Bidayatul Hidayah, yang dikarangnya pun mengungkapkan kenyataan ini.

Hanya saja, terselip kisah unik di balik totalitas Imam al-Ghazali dalam beragama pasca-kewafatannya. Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul ‘Ibad menulis cerita seseorang yang berjumpa Imam al-Ghazali dalam sebuah mimpi. “Bagaimana Allah memperlakukanmu?” tanya orang tersebut.

Imam al-Ghazali mengisahkan bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia serahkan untuk-Nya. Al-Ghazali pun menimpali dengan menyebut satu per satu seluruh prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia.

“Aku (Allah) menolak itu semua!” Ternyata Allah menampik berbagai amalan Imam al-Ghazali kecuali satu kebaikannya ketika bertemu dengan seekor lalat.

Suatu saat Imam al-Ghazali tengah sibuk menulis kitab hingga seekor lalat mengusiknya barang sejenak. Lalat “usil” ini haus dan tinta di depan mata menjadi sasaran minumnya. Sang Imam yang merasa kasihan lantas berhenti menulis untuk memberi kesempatan si lalat melepas dahaga dari tintanya itu.

“Masuklah bersama hamba-Ku ke sorga,” kata Allah kepada Imam al-Ghazali dalam kisah mimpi itu.

Hikayat ini mengandung pesan tentang betapa dahsyatnya pengaruh hati yang bersih dari egoisme, semata untuk kepentingan diri sendiri. Kasih sayang Imam al-Ghazali yang luas, bahkan kepada seekor lalat pun, membawa tokoh dengan jutaan pengikut ini pada kemuliaan

Peristiwa ini secara samar menampar sebagian kalangan yang kerap membanggakan capaian-capaian keberagamaannya. Karena ternyata penilaian ibadah manusia sepenuhnya milik-Nya, bukan milik manusia. Tak ada ruang bagi manusia menghakimi kualitas diri sendiri ataupun orang lain. Segenap prestasi ibadah dan kebenaran agama yang disombongkan bisa jadi justru berbuah kenistaan.

Imam al-Ghazali sesungguhnya hanya mempraktikkan apa yang diteladankan dan diperintahkan Nabi, “Irhamu man fil ardli yarhamkum man fis sama’. Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu.” (Mahbib Khoiron)


Sumber : http//www.nu.or.id

Mengusap Wajah Setelah Do'a Qunut


Doa qunut adalah doa yang dilakukan pada saat berdiri tegak dari ruku’, hukum doa qunut sendiri adalah sunnah karena bukan termasuk salah satu syarat maupun rukun shalat. Doa qunut dilakukan pada saat shalat subuh, shalat witir di bulan Ramadlan pertengahan akhir, pada saat ada bencana atau yang dikenal dengan istilah qunut nazilah.Tidak ada doa khusus untuk doa qunut, hanya saja doa yang sering kita dengar adalah doa yang berbunyi اللهم اهدني..... walaupun sebagian ulama’ memperbolehkan doa qunut dengan doa selain tersebut di atas.
Lalu terkadang kita temui sebagian orang yang mengusap wajah setelah selesai membaca doa qunut, entah pada saat shalat berjama’ah ataupun shalat munfarid (sendiri), sebenarnya tidak ada larangan mengusap wajah tersebut, akan tetapi lebih baik tidak mengusap kewajah karena sunnahnya adalah tidak mengusapkan tangan kewajah setelah selesai membaca doa qunut. Imam Abu Bakar Al-Husaini Asy-Syafi’I dalam kitabnya Kifayatul Akhyar menyinggung masalah tersebut diatas,
وَالسّنة أَن يرفع يَدَيْهِ وَلَا يمسح وَجهه لِأَنَّهُ لم يثبت
Doa qunut yang disunnahkan adalah dengan mengangkat kedua tangan dan tidak mengusapkan kedua tangan kewajah setelah selesai berdoa.
Bahkan ada sebagian ulama’ yang menganggap makruh hukumnya mengusapkan kedua tangan setelah selesai berdoa, karena tidak ada ketentuan dari sunnah. Sebagaimana kelanjutan dari kitab diatas,
وَلَا يسْتَحبّ مسح الصَّدْر بِلَا خلاف بل نَص جمَاعَة على كَرَاهَته
Dan ulama’ sepakat tidak disunnahlan mengusapkan tangan ke dada, bahkan dari sebagian golongan ada yang menghukumi makruh.
Maka untuk mendapatkan kesunahan qunut adalah mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati oleh para ulama’ fiqih, dan memilih doa yang mudah dilafalkan dan dihafal. (Pen. Fuad H/ Red. Ulil H)

Sumber : http//www.nu.or.id

Perempuan Haidh Boleh Tahlil

Perempuan Haidh Boleh Tahlil

Mati tidak mengenal kompromi. Kapapun bisa datang, dimanapun bisa terjadi. Dan mati juga tidak bisa ditawar apalagi dimajukan waktunya 'fala yasta'khiruna sa'atan wa la yastaqdimun'. Begitulah aturan dari Yang Maha Kuasa. Dia yang memberi penghidupan Dia pula yang berhak mencabutnya kembali. Kapanpun dia suka.Sehubungan dengan mati, maka ta'ziyah dan tahlil sebagai acara do'a bersama tidak bisa dilewati. Meskipun banyak orang yang mengatakan do'a untuk orang mati tidak sampai, tetap saja keluarga tidak tega untuk tidak mendoakannya. Apalagi jika si mayit itu ayah, suami, kakak atau adik yang memiliki peran dan kontribusi pada kehidupan kita. Apalagi yang dapat kita berikan kepadanya selain do'a. Uang, emas, mobil tidak dapat dia bawanya ke alam kubur. Bahkan harta yang dikumpulkannya selama hidupnya malah akan segera dibagi-bagi sebagai warisan. Sungguh kasihan jika mayit tidak kita bekali dengan do'a, dan sungguh tega jika hanya do'apun kita tidak memberikannya.
Namun sekali lagi kematian datang sesuka hati, dia tidak tahu ternyata istri, adik, kakak, ataupun emak yang ditinggalkan dalam keadaan hadats besar. Seringkali mereka bingung bolehkah berkirim do'a membaca surat ikhlas dan Fatihah, jika dalam keadaa haidh. Padahal mayit kesayangan sangat membutuhkan do'anya?
Mengenai hal ini I'anatuht Thaibin menerangkan dengan jelas:
وإن قصد الذكر وحده أو الدعاء أو التبرك أو التحفظ أو أطلق فلا تحرم لأنه عند وجود قرينة لا يكون قرأنا إلا بالقصد ولوبما لا يوجد نظمه فى غير القرأن كسورة الإخلاص
Apabila ada tujuan berdzikir saja atau berdo'a, atau ngalap berkah atau menjaga hafalan, atau tanpa tujuan apapun (selama tidak berniat membaca al-Qur'an) maka (membacaal-qu'an bagi perempuan haidh) tidak diharamkan. Kerena ketika dijumpai suatu qarinah, maka yang dibacanya itu bukanlah al-Qur'an kecuali jika memang dia sengaja berniat membaca al-Qur'an. Walaupun bacaan itu seseungguhnya adalah bagian dari alqur'an semisal surat al-ikhlas.
Demikianlah seseungguhnya seorang yang sedang haidh diperbolehkan membaca al-Qur'an selama tidak diniatkan untuk berzikir maupun berdo'a demikian pula membaca tahlil dan tahmid dan takbir. Bahakan dalam kitab al-Mizanul Kubra diterangkan dengan tegas bahwa Imam Malik memperbolehkan wanita haidh membaca al-Qur'an. 

Karena Mati tidak mengenal kompromi. Kapapun bisa datang, dimanapun bisa terjadi. Dan mati juga tidak bisa ditawar apalagi dimajukan waktunya 'fala yasta'khiruna sa'atan wa la yastaqdimun'. Begitulah aturan dari Yang Maha Kuasa. Dia yang memberi penghidupan Dia pula yang berhak mencabutnya kembali. Kapanpun dia suka.
Sehubungan dengan mati, maka ta'ziyah dan tahlil sebagai acara do'a bersama tidak bisa dilewati. Meskipun banyak orang yang mengatakan do'a untuk orang mati tidak sampai, tetap saja keluarga tidak tega untuk tidak mendoakannya. Apalagi jika si mayit itu ayah, suami, kakak atau adik yang memiliki peran dan kontribusi pada kehidupan kita. Apalagi yang dapat kita berikan kepadanya selain do'a. Uang, emas, mobil tidak dapat dia bawanya ke alam kubur. Bahkan harta yang dikumpulkannya selama hidupnya malah akan segera dibagi-bagi sebagai warisan. Sungguh kasihan jika mayit tidak kita bekali dengan do'a, dan sungguh tega jika hanya do'apun kita tidak memberikannya.
Namun sekali lagi kematian datang sesuka hati, dia tidak tahu ternyata istri, adik, kakak, ataupun emak yang ditinggalkan dalam keadaan hadats besar. Seringkali mereka bingung bolehkah berkirim do'a membaca surat ikhlas dan Fatihah, jika dalam keadaa haidh. Padahal mayit kesayangan sangat membutuhkan do'anya?
Mengenai hal ini I'anatuht Thaibin menerangkan dengan jelas:
وإن قصد الذكر وحده أو الدعاء أو التبرك أو التحفظ أو أطلق فلا تحرم لأنه عند وجود قرينة لا يكون قرأنا إلا بالقصد ولوبما لا يوجد نظمه فى غير القرأن كسورة الإخلاص
Apabila ada tujuan berdzikir saja atau berdo'a, atau ngalap berkah atau menjaga hafalan, atau tanpa tujuan apapun (selama tidak berniat membaca al-Qur'an) maka (membacaal-qu'an bagi perempuan haidh) tidak diharamkan. Kerena ketika dijumpai suatu qarinah, maka yang dibacanya itu bukanlah al-Qur'an kecuali jika memang dia sengaja berniat membaca al-Qur'an. Walaupun bacaan itu seseungguhnya adalah bagian dari alqur'an semisal surat al-ikhlas.
Demikianlah seseungguhnya seorang yang sedang haidh diperbolehkan membaca al-Qur'an selama tidak diniatkan untuk berzikir maupun berdo'a demikian pula membaca tahlil dan tahmid dan takbir. Bahakan dalam kitab al-Mizanul Kubra diterangkan dengan tegas bahwa Imam Malik memperbolehkan wanita haidh membaca al-Qur'an. (Pen/Red. Ulil H)


Sumber : http://www.nu.or.id

Hukum Parfum Beralkohol


Bagi sebagian kalangan, barang encer dalam botol minyak wangi bisa menaikkan tingkat kepercayaan diri. Tetapi tidak sedikit mereka yang berjiwa besar tanpa mengenal parfum. Di antara keduanya, ada juga mereka yang mengenakan minyak wangi dalam tempo tertentu sesuai kehendak hati. Yang jelas, setiap mereka mengantongi alasan macam-macam.

Perdagangan cairan wangi asiri yang mudah menguap pada temperatur agak rendah ini bisa didapati di emper masjid, pasar tradisional, pasar swalayan, atau pasar-pasar malam dadakan.

Pedagang minyak wangi biasanya menerakan minyak wangi yang tidak mengandung alkohol. “Nonalkohol,” dengan tulisan besar. Untuk yang beralkohol, biasanya tanpa keterangan apapun. Penggolongan keduanya bisa berasal dari pedagang, peracik, atau produsennya.

Penggolongan ini sekurangnya membelah sikap warga. Ada yang memilih nonalkohol untuk menenangkan hati jika mereka bersembayang. Pasalnya, ia menganggap najis zat alkohol yang digolongkan ke dalam khamar. Sedangkan yang lain mengambil parfum beralkohol di samping ada juga mereka yang tidak mengambil peduli.

Sikap di atas bisa dijelaskan secara hukum antara lain; pertama zat alkohol termasuk ke dalam khamar. Artinya alkohol sebagaimana khamar juga haram dan najis. Sedangkan pendapat kedua mengatakan, alkohol hanya haram dikonsumsi, tetapi tidak najis digunakan untuk kepentingan parfum misalnya.

“Alkohol tidak identik dengan khamar. Kekeliruan orang banyak mengidentikan keduanya. Padahal keduanya tidak selalu identik. Kalau alkohol diminum, ia baru disebut khamar. Tetapi sejauh digunakan untuk parfum, tidak menjadi apa,” kata Katib Aam PBNU KH Malik Madani di Gedung PBNU jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, Kamis (13/2).

Sementara pendapat ketiga mengatakan, khamar itu tetap suci kendati tetap haram. Keterangan ini bisa didapat dari Syekh Abdul Wahab bin Ahmad Al-Ansori yang lazim dikenal As-Sya’roni dalam kitab Al-Mizanul Kubro berikut.

أجمع الأئمة علي نجاسة الخمر إلا ما حكي عن داود أنه قال بطهارتها مع تحريمها

“Para imam mujtahid sepakat atas najisnya khamar kecuali riwayat dari Imam Daud. Ia berpendapat, khamar itu suci meski haram untuk dikonsumsi.” Pendapat ini bisa berlaku bagi mereka yang mengidentikkan alkohol dan khamar. Wallahu A’lam.


Alhafiz Kurniawan
Sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,50255-lang,id-c,syariah-t,Hukum+Parfum+Beralkohol-.phpx

Minggu, 23 Februari 2014

Inilah Kesaksian Dokter Menjelang Wafatnya Kiai Sahal

Pati, NU Online
Ada kejadian menyentuh hati kala Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh menghadapi sakaratul maut pada Kamis (23/1) hingga ajal menjemput pada Jumat dini hari. Dalam keadaan mata terpejam, Mbah Sahal tiada henti melafalkan aneka macam doa, tahlil, hingga surat-surat pendek. Meski terdengar berat, bacaan ulama kharismatik ini terdengar jelas dan terang.
Kesaksian ini diceritakan dokter H Imron Rosyidi kepada NU Online usai tahlil malam kedua yang digelar di kediaman Rais Aam, Sabtu (25/1) malam. Dokter pribadi keluarga Mbah Sahal ini mengaku merinding mendengar lantunan hadlarah (bacaan sebelum tahlil) dari bibir Mbah Sahal yang terbaring lemah.
“Baru kali ini saya takut ketika menunggui orang yang mau meninggal. Bukan apa-apa, bacaan beliau yang jelas itulah yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Terus terang, kalau ingat pengalaman tadi malam masih suka merinding,” ujar Imron berkaca-kaca.
Dokter muda yang juga direktur Rumah Sakit Islam (RSI) Pati ini menambahkan, saat membaca tahlil Mbah Sahal mengirim fatihah kepada para wali, kepada Mbah Mutamakkin, kepada PBNU, dan para ulama se-dunia. Setelah itu, Rais Aam tiga periode ini (1999-2004, 2004-2009, 2010-2014) berulang kali membaca aneka surah Al-Quran yang dihafal.
Dalam pantauan NU Online, tahlil malam kedua di kediaman Mbah Sahal komplek Pesantren Maslakul Huda diikuti oleh lebih dari 2000 orang. Tahlil yang dipimpin KH Asmu’i ini juga dihadiri para kiai dari segenap pesantren di Desa Kajen. Pengasuh Pesantren Putri Roudloh At-Thahiriyyah KH Muadz Thohir dan Pengasuh Pesantren Maslakul Huda (PMH) Putri KH A Nafi’ Abdillah nampak sibuk mempersilakan tamu.
Menurut KH Umar Faruq al-hafidz, tahlil malam pertama juga dipenuhi para jamaah hingga meluber hingga jalan. Sementara kendaraan para pelayat sebagian besar diparkir di halaman RSI Pati, 100 meter arah barat dari pesantren Mbah Sahal. “2000 kursi yang disediakan panitia tidak cukup. Sebagian jamaah mengikuti tahlil dari musholla di mana Mbah Sahal kemarin disholati,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Anam)

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,49721-lang,id-c,nasional-t,Inilah+Kesaksian+Dokter+Menjelang+Wafatnya+Kiai+Sahal-.phpx

H. AMJAD AL HAFIZH Pencipta Syair Asmaul Husna



Bagi sebagian kita,  amalan Asmaul Husna sudah tidak asing lagi. Dalam setiap acara mujahadah atau pengajian, Asmaul Husna menjadi selalu ada. Tidak hanya itu, Asmaul Husna sudah menjadi bacaan ‘wajib’ sebelum kegiatan belajar mengajar di madrasah atau sekolah, termasuk di MTs Darul 'Ulum Kerangkulon yang menjadi amalan wajib setiap awal pelajaran.
Amalan Asmaul Husna yang sudah dijadikan tradisi ini, tidak bisa lepas dari peran sosok seorang dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas)  H Amdjad al Hafidz. Ia yang bertempat tinggal di Jl Bledak Kanti II/3  Perumnas Tlogosari Semarang ini adalah pengarang nadhoman atau syiiran atau syair Asmaul Husna sehingga memudahkan setiap orang membaca dan menghafalkan. 
Asmaul Husan tidak hanya tersebar ke pelosok desa atau daerah di Indonesia , tetapi  sudah  diamalkan umat mancanegara. Berikut petikan wawancara NU Online dengan H Amdjad yang juga pengasuh Mujahadah Al Asmaul Husna saat berada di Kudus, 22 September 2013 lalu. 
Bagaimana awal ceritanya Asmaul Husna menjadi amalan /bacaan majlis mujahadah ? 
Pada tahun 90-ansaya bersama jamaah mujahadahan membaca  do’a-do’a  dengan harapan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Setelah ditunggu lama, tanda-tanda  harapan itu belum juga muncul. Sehingga pada Juni 1999, para jamaah saya ajak mengamalkan  Asmaul Husna dengan syair biasa. Kita tahu asmaul husna adalah nama-nama kebesaran Allah yang berjumlah 99. Alhamdulillah, setelah beberapa waktu mengamalkanya,  kejiwaan jamaah yang stres pelan-pelan hilang dan kelihatan menjadi bahagia. Meskipun dhohirnya masih sama, tapi sudah kelihatan bahagia. 
Lalu ide menulis nadhoman Asmaul Husna? 
Pada waktu itu, lagu-lagu agama dengan irama datar kurang diminati.  Tiba-tiba kehendak Allah, Asmaul husna kami beri awalan bismillah bada’na/ walhamduli rabbina dan akhiran do’a yang berbentuk syiiran/nadhoman. Saya memandang untuk memudahkan orang mengamalkan dan menghafalkan. Proses penyusunannya selama satu bula dengan perbaikan sambil jalan. Ketika ada bacaan yang kurang tepat sesuai irama syair, baru diperbaiki. 
Bagaimana respon masyarakat adanya nadhoman ini? 
Setelah tersusun dan disebar ke masyarakat ternyata banyak yang mengamalkan. Mulai dari masyarakat biasa, pejabat dan mahasiswa. Hingga kini Asmaul Husna didengungkan di berbagai kumpulan atau jam’iyahan di pelosok  pedesaan karena semua mahasiswa (unwahas) menyebarkan amalan agung ini di daerahnya masing-masing. Bahkan juga diamalkan santri yang mukim di mancanegara seperti Hongkong dan  Taiwan dengan cara melalui HP. Negara timur tengah (Arab) penyebarannya lewat umroh dan haji . 
Apa barokah atau khasiat yang dirasakan setelah mengamalkan Asmaul Husna? 
Selama yang saya dan jamaah rasakan, usai membaca mendapat hasil jiwa (hati) semakin tentram dan tenang. Bila semua masyarakat bangsa ini mengamalkan Asmaul Husna, kita tunggu saja Indonesia akan makmur. Barokah asmaul  husna akan membawat tiga hal yang menjadi ukuran bangsa makmur yakni majunya pendidikan, semangat tinggi sumber daya manusianya dan tersedianya sarana lengkap dan modern mulai fisik dan ilmu pengetahuan. 
Harapan bapak kepada masyarakat ? 
Kami berharap masyarakat seluruh dunia selalu mengamalkan asmaul husna supaya menjadi ahli dzikir. Dengan begitu, akan mendapat kekuatan dalam amal, sikap  dan kehidupan akan menjadi makmur. Semuanya  tergantung ketekunan dan Insya Allah mengabulkan. Buktinya para jamaah mendapat ketenangan jiwa dan tentram. Dan pada saat diakhirat nanti akan masuk surga sebagaimana penjelasan Nabi bahwa barang siapa yang membaca asma Allah akan masuk surga.(Qomarul Adib/Anam)