Minggu, 23 Februari 2014

Melirik Gaya Pengentasan Kemiskinan Ala Kiai Pesantren



Mustasyar PBNU KH Dimyati Rais, sekaligus pengasuh pesantren Al Fadhlu wal Fadhilah Kampung Jagalan, Desa Kutoharjo, Kaliwungu, Kendal merupakan sosok ulama sekaligus pengusaha yang mengajarkan para santri dan penduduk sekitar tidak hanya materi-materi keagamaan. Ia membekali para santri dengan ketrampilan yang berguna ketika sudah keluar dari pesantren. Para penduduk juga diajarkan bagaimana menjalankan usahanya dengan lebih baik. Atas usahanya tersebut, ia menjadi salah seorang tokoh berpengaruh di lingkungan sekitarnya.

Berikut wawancara Mukafi Niam dengan Kiai kharismatik tersebut disela-sela rapat pleno PBNU di kompleks Unsiq Wonosobo, beberapa waktu lalu tentang bagaimana metode pengentasan kemiskinan ala pesantren.

Bagaimana pola pengembangan ekonomi berbasis pesantren?

Saya ini pengusaha pertambakan, tapi masih menggunakan pendekatan konvensional atau alamiah, belum sampai pada memakai model yang canggih dan intensif, tapi sensitif, kalau mati, ya mati semuanya. Saya memelihara bandeng dan udang, alhamdulillah berhasil.

Sampai berapa hektar yang dikelola? 

Kurang lebih ada 15 hektar

Melibatkan santri atau ada tenaga kerja khusus?

Ada anak santri yang tidak nyangu (membawa bekal) dari rumah yang bekerja. Jadi yang ngarap pertanian santri, pertambakan juga santri,  semuanya dikerjakan setelah pelajaran sekolah. Jadi makan semuanya dari sini, sekolahnya juga tidak membayar, semuanya gratis.

Ada berapa banyak santri yang dilibatkan?

Tidak pasti, ada anak yang ditempatkan di dapur, di pertanian atau di tambak.

Sekaligus melatih mereka berusaha?

Ya, saya dalam membangun gedung juga tidak memakai tukang. Maka anak santri yang keluaran dari situ, kadang pulang ke rumah ada yang jadi tukang, sambil mengajar masyarakat. Jadi karena yang mengerjakan anak santri, biayanya tidak terlalu berat.

Kalau ada tamu yang datang, saya tunjukkan, gedung-gedung pesantren sampai berlantai tiga yang membangun santri banyak yang heran. Ada sejumlah alumni santri yang bekerja di kontraktor-kontraktor besar di Jakarta, lama-lama mereka ahli dan membantu ketika kami membutuhkan keahliannya.

Kalau untuk upaya pengentasan kemiskinan bagaimana?

Upaya pengentasan kemiskinan tentu dilakukan sesuai dengan cara dan kapasitas yang kami miliki.

Satu contoh, pernah ada orang yang kurang mampu, ia datang ke tempat saya, bila

“Kiai bagaimana saya, disamping ekonomi lemah, anaknya banyak dan tidak memiliki harta benda.”

Terus saya tanya, “sampean punya duit berapa.”

Orang tersebut menjawab “10 ribu.”

“Gini saja coba, belikan ayam. Waktu itu ayam 500 rupiah.”

Akhirnya datang ke saya membawa 20 ayam.

Ayam itu dibawa ke rumah saya, terus saya bilangan, bukan dibawa ke saya, tapi dibawa ke rumah sampean.

“Ayam ini sampean sembelih sendiri, dengan tangan sampean sendiri bersama istri.”

“Lalu, bagaimana selanjutnya,” tanya orang tersebut.

Saya bilang, “nanti jam 12 malam, saudara datang ke saya, nanti saya bisiki.”

Jam 3 malam mereka selesai memotong ayam, setelah itu, datang lagi, “gimana kiai.”

“Ini dipotongi yang baik,”

Pekerjaan tersebut dilakukan sampai subuh. Jam tujuh kemudian datang lagi, “Lalu untuk apa.”

Saya bilang, “ini ada timbangan, saya pinjami dulu, coba dijual ke pasar, kira-kira dapat berapa.”

Akhirnya jam 11 siang sudah pulang, dapat uang 16 ribu. “Kira-kira 3 ribu cukup untuk makan ngak.”

“Cukup.”

“Itu yang 13 ribu dibelikan ayam lagi.”

Atas usahanya tersebut, akhirnya, alhamdulillah, saat ini setiap hari, orang tersebut bisa menghabiskan ayam dua kuintal, ini kan juga upaya pengentasan kemiskinan.

Ada contoh lain, orang datang dan bilang, “kiai saya punya warung makan, tapi habisnya paling-paling tiga kilo sate dengan gule, bagaimana supaya warungnya bisa berkembang dengan baik.”

Nah, saya waktu itu saya akan ke Brebes, “Mau ikut ngak.”

Dia lalu ikut, saya ajak ke warung yang jual sate dan gule paling enak, setelah makan gule dan sate saya tanya.

“Gule dan sate anda lebih enak mana daripada yang ini. Kira-kira saudara ngerti ngak. Kalau enak disini, gimana menirunya.” 

“Asal sesuai dengan seleraanda, kan biasanya rame.”

Sekarang jualan satenya Alhamdulillah, berhasil. Ini juga pengentasan kemiskinan.

Saya juga menanam semangka, saya beritahu masyarakat bagaimana caranya, dapatnya berapa. Para petani akhirnya banyak yang meniru.

Saya juga belum sampai yang seperti industri, biayanya kan besar. Ini upaya pengentasan kemiskinan sesuai dengan kondisi masing-masing, pada prinsipnya bisa.

Di Kaliwungi, saya juga mengawali penanaman brambang (bawang merah), sekarang sudah banyak yang mengikuti.

Masyarakat pedesaan harus dikasih tahu dulu?

Ya memang betul itu, malah kadang bukan hanya masalah penanamannya, kadang rabuknya (pupuknya) juga berganti-ganti, sesuai dengan kondisi dan tanah masing-masing.

Kok bisa dapat inspirasi menanam semangka atau brambang?

Saya kan petani, keluarga saya petani. Sebelum di Kaliwungu saya tinggal di Brebes. Cuma, yang namanya pengobatan atau pupuk, harus sesuai dengan tanahnya masing-masing. Di Kaliwungu berbeda dengan Brebes. Di Kaliwungu, lebih ngirit pengobatannya. Tapi pada prinsipnya, pengentasan kemiskinan. Pesantren harus terlibat dalam pengentasan kemiskinan, tidak hanya mengajarkan materi keagamaan.

Saya juga ajarkan istighotsah, mengajarkan masyarakat berdzikir. Sekarang banyak musibah, di Amerika ada tornado, Jepang ada tsunami, di Indonesia ada Lapindo, yang sekarang sulit diatasi, ada gempa. Dan untuk mengatasi ini, saya kira teknologi dan ilmiah saja tidak cukup. Dalam satu hadist ada yang mengatakan, tidak ada persoalan yang bisa mengatasi marahnya Allah, kecuali doa. Maka dari itu, saya berdoa dan bedzikir kepada Allah, moga-moga tidak ada tsunami dan gempa, atau masalah lain.


http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,5-id,48070-lang,id-c,halaqoh-t,Melirik+Gaya+Pengentasan+Kemiskinan+Ala+Kiai+Pesantren-.phpx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar